Ahad lalu, salah seorang kakak laki-laki saya, mas Arif, tiba di Jogja, dari tempat merantaunya di Palembang. Sedih…karena ternyata setelah cukup lama tidak bertemu, ia masih tetep lebih ganteng dari saya.. #plak. XD
Kami hanya terpaut 2 tahun. Maka soal bertengkar, tidak perlu ditanya, bapak ibu sampai kewalahan. Saya yang tidak mau tertindas sebagai anak bungsu, dan dia sebagai kakak, berlagak jumawa dan ngga mau terus-terusan mengalah sama adek bungsunya. Pun saat kami kompak, orangtua kami juga kewalahan. Urusan maen PS misalnya. Kami piawai sekali bersekongkol soal beginian.. 😀 Jaman dulu PS masih jarang dan mahal, kami berdua suka sekali maen di tetangga sebelah rumah yang menyewakan PS. Isinya kebanyakan anak laki-laki. Saya hanya berani maen kesana kalau ada kakak laki-laki saya yang menemani. Maka seperti ada chemistry *tsaaaah* mas Arif sering mengajak saya maen kesana tanpa perlu saya beritahu kalau saya ingin.
Well, yaah hanya saja, permasalahan utama orang yang sedang main game adalah lupa waktu. Suatu ketika, kami terlalu asik bermain di tempat penyewaan PS itu, hingga waktu sholat Ashar tiba, kami masih asik saja maen. Di tengah khusyuk dan konsentrasi tingkat tinggi ini, tanpa kami sadari ada seseorang yang menatap kami tajam dari belakang. Merasa diawasi sesuatu, saya menengok ke belakang. Tepat di belakang kami, Bapak sudah berdiri menggunakan sarung dengan membawa 2 batang lidi di tangan… lalu berkata tajam “Pulang nggak sekarang.” Tanpa perlu menjawab pernyataan Bapak kami segera beringsut dari tempat itu. Malu diliatin teman-teman sekaligus deg-degan dengan nasib kami di rumah T.T Lalu apa yang terjadi? Tentu saja, lebih banyak mas Arif yang dimarahi Bapak daripada saya. Dimarahi karena bawa-bawa adek perempuan maen di tempat begitu, dan yang utama sudah lewat adzan ashar dan kami tidak segera sholat. Masih teringat sekali raut wajah kakak saya yang marah, takut, sekaligus tegang menahan air mata. Saya hanya bisa merengut sedih tanpa bisa melakukan apa-apa. Well, My brother, my hero.. :’)
Masa-masa di sekolah dasar, saya begitu keranjingan ikut lomba. Ikut ini itu, lalu pulang bawa piala. Kakak saya, juga ikut lomba, tapi tidak soal pialanya. Maka kadang saya sering merasa tidak enak jika saya pulang menang, tapi kakak saya tidak. Kadang saat pengumuman lomba, sesekali saya berharap tidak menang, dan kemudian bisa menepuk bahunya sambil berkata “Mas, sama mas. Sama-sama kalah kita..” Hanya saja yang terjadi lebih sering kebalikannya. Namun meski begitu, mas Arif sama sekali tidak pernah menunjukka sikap irinya pada saya soal menang kalah ini. Tiap kali ada pengumuman lomba dan saya menang, maka sambutan itu selalu sama. Ia yang bertepuk tangan dan tersenyum lebar, hingga matanya yang sipit semakin sipit saja jadinya. My brother, my hero.. :’)
Saat masa-masa remaja, mas Arif selalu setia menjadi ojek gratisan saya 😀 Meski berulang kali ia marah-marah karena selalu menunggu saat menjemput saya, tapi “pekerjaan” itu tetap saja dilakukannya. Menjemput saya malam-malam usai lomba debat lalu kehujanan. Menjemput saya malam-malam seusai pertandingan basket sambil memastikan bahwa tidak ada teman cowok SMA saya yang “nakal” 😀 Menjemput saya malam-malam setiap hari di tempat saya kerja partime setelah mengetahui saya pernah dikuntit oleh seseorang. Maka saat awal-awal kepergiannya merantau (saat awal saya kuliah kira-kira), saya masih sedikit keki dengan urusan keluar malam tanpa ada teman. My brother my hero.. 🙂
Namun terkadang, ia menunjukkan sisi lain dari dirinya pada saya. Kadang-kadang saja, karena ia memang susah bercerita. Saat ia patah hati. Saat ia sedang tertimpa masalah yang bertubi-tubi, saat ia sangat kurang motivasi, saat ia punya konflik dengan Bapak, saat ia khawatir tentang sesuatu. Saat ia bingung memilih ini atau itu. Dia hanya bisa bercerita dengan orang-orang tertentu saja, dan dengan saling tatap muka.
Maka saat ada kesempatan bertemu begitu, tidak saya lewatkan untuk mendengarkannya becerita. Tentu saja, mulanya ia sangat sukar mengungkapkan isi pikiran dan hatinya. Terlebih kami sudah lama tidak bersua. Namun tidak perlu waktu lama hingga saya mengerti bagaimana membuatnya mulai bercerita. Melihatnya tiba-tiba tersenyum bahagia, lalu tergelak tertawa (ah saya merasa senang sekaliiii). Lalu mendengarnya mengumpat dengan gaya khas laki-laki (kalau dulu biasanya saya tegur, tapi kemarin saya justru tersenyum,hahaha) atau pada beberapa cerita yang membuat kami sama-sama terdiam dan menghela napas panjang.
Sekarang ia sudah kembali ke tempatnya berjuang. Hupft, mendengarnya bercerita kemarin, membuat saya bersyukur terlahir sebagai wanita. Betapa menjadi seorang laki-laki sungguh besar tanggung jawabnya ya. Semoga Allah menguatkanmu ya Mas. Semoga kalau Mas Arif salah, segera disentil dan ngga terperosok semakin jauh. Semoga tetap rajin shalat berjamaah. Semoga bisa semakin mapan. Semoga bisa tambah dewasa lagi. Semoga tidak sering marah-marah sendiri terus jadi makan ati karena disimpen sendiri. Semoga Allah melimpahi banyak kasih sayang…>.< Amiiiiin..
.