My brother, My Hero

Ahad lalu, salah seorang kakak laki-laki saya, mas Arif, tiba di Jogja, dari tempat merantaunya di Palembang. Sedih…karena ternyata setelah cukup lama tidak bertemu, ia masih tetep lebih ganteng dari saya.. #plak. XD

Kami hanya terpaut 2 tahun. Maka soal bertengkar, tidak perlu ditanya, bapak ibu sampai kewalahan. Saya yang tidak mau tertindas sebagai anak bungsu, dan dia sebagai kakak, berlagak jumawa dan ngga mau terus-terusan mengalah sama adek bungsunya. Pun saat kami kompak, orangtua kami juga kewalahan. Urusan maen PS misalnya. Kami piawai sekali bersekongkol soal beginian.. 😀 Jaman dulu PS masih jarang dan mahal, kami berdua suka sekali maen di tetangga sebelah rumah yang menyewakan PS. Isinya kebanyakan anak laki-laki. Saya hanya berani maen kesana kalau ada kakak laki-laki saya yang menemani. Maka seperti ada chemistry *tsaaaah* mas Arif sering mengajak saya maen kesana tanpa perlu saya beritahu kalau saya ingin.

Well, yaah hanya saja, permasalahan utama orang yang sedang main game adalah lupa waktu. Suatu ketika, kami terlalu asik bermain di tempat penyewaan PS itu, hingga waktu sholat Ashar tiba, kami masih asik saja maen. Di tengah khusyuk dan konsentrasi tingkat tinggi ini, tanpa kami sadari ada seseorang yang menatap kami tajam dari belakang. Merasa diawasi sesuatu, saya menengok ke belakang. Tepat di belakang kami, Bapak sudah berdiri menggunakan sarung dengan membawa 2 batang lidi di tangan… lalu berkata tajam “Pulang nggak sekarang.” Tanpa perlu menjawab pernyataan Bapak kami segera beringsut dari tempat itu. Malu diliatin teman-teman sekaligus deg-degan dengan nasib kami di rumah T.T Lalu apa yang terjadi? Tentu saja, lebih banyak mas Arif yang dimarahi Bapak daripada saya. Dimarahi karena bawa-bawa adek perempuan maen di tempat begitu, dan yang utama sudah lewat adzan ashar dan kami tidak segera sholat. Masih teringat sekali raut wajah kakak saya yang marah, takut, sekaligus tegang menahan air mata. Saya hanya bisa merengut sedih tanpa bisa melakukan apa-apa. Well, My brother, my hero.. :’)

Masa-masa di sekolah dasar, saya begitu keranjingan ikut lomba. Ikut ini itu, lalu pulang bawa piala. Kakak saya, juga ikut lomba, tapi tidak soal pialanya. Maka kadang saya sering merasa tidak enak jika saya pulang menang, tapi kakak saya tidak. Kadang saat pengumuman lomba, sesekali saya berharap tidak menang, dan kemudian bisa menepuk bahunya sambil berkata “Mas, sama mas. Sama-sama kalah kita..” Hanya saja yang terjadi lebih sering kebalikannya. Namun meski begitu, mas Arif sama sekali tidak pernah menunjukka sikap irinya pada saya soal menang kalah ini. Tiap kali ada pengumuman lomba dan saya menang, maka sambutan itu selalu sama. Ia yang bertepuk tangan dan tersenyum lebar, hingga matanya yang sipit semakin sipit saja jadinya. My brother, my hero.. :’)

Saat masa-masa remaja, mas Arif selalu setia menjadi ojek gratisan saya 😀 Meski berulang kali ia marah-marah karena selalu menunggu saat menjemput saya, tapi “pekerjaan” itu tetap saja dilakukannya. Menjemput saya malam-malam usai lomba debat lalu kehujanan. Menjemput saya malam-malam seusai pertandingan basket sambil memastikan bahwa tidak ada teman cowok SMA saya yang “nakal” 😀 Menjemput saya malam-malam setiap hari di tempat saya kerja partime setelah mengetahui saya pernah dikuntit oleh seseorang. Maka saat awal-awal kepergiannya merantau (saat awal saya kuliah kira-kira), saya masih sedikit keki dengan urusan keluar malam tanpa ada teman. My brother my hero.. 🙂

Namun terkadang, ia menunjukkan sisi lain dari dirinya pada saya. Kadang-kadang saja, karena ia memang susah bercerita.  Saat ia patah hati. Saat ia sedang tertimpa masalah yang bertubi-tubi, saat ia sangat kurang motivasi, saat ia punya konflik dengan Bapak, saat ia khawatir tentang sesuatu. Saat ia bingung memilih ini atau itu. Dia hanya bisa bercerita dengan orang-orang tertentu saja, dan dengan saling tatap muka.

Maka saat ada kesempatan bertemu begitu, tidak saya lewatkan untuk mendengarkannya becerita. Tentu saja, mulanya ia sangat sukar mengungkapkan isi pikiran dan hatinya. Terlebih kami sudah lama tidak bersua. Namun tidak perlu waktu lama hingga saya mengerti bagaimana membuatnya mulai bercerita. Melihatnya tiba-tiba tersenyum bahagia, lalu tergelak tertawa (ah saya merasa senang sekaliiii). Lalu mendengarnya mengumpat dengan gaya khas laki-laki (kalau dulu biasanya saya tegur, tapi kemarin saya justru tersenyum,hahaha) atau pada beberapa cerita yang membuat kami sama-sama terdiam dan menghela napas panjang.

Sekarang ia sudah kembali ke tempatnya berjuang. Hupft, mendengarnya bercerita kemarin, membuat saya bersyukur terlahir sebagai wanita. Betapa menjadi seorang laki-laki sungguh besar tanggung jawabnya ya. Semoga Allah menguatkanmu ya Mas. Semoga kalau Mas Arif salah, segera disentil dan ngga terperosok semakin jauh. Semoga tetap rajin shalat berjamaah. Semoga bisa semakin mapan. Semoga bisa tambah dewasa lagi. Semoga tidak sering marah-marah sendiri terus jadi makan ati karena disimpen sendiri. Semoga Allah melimpahi banyak kasih sayang…>.<  Amiiiiin..

 

9118_103991886278758_100000038417868_110935_3308679_n

.

Napak Tilas

Sudah hampir 3 tahun.. dan saya senyum sendiri saat membaca postingan saya di tahun 2011 ini. Terkadang saat merasa jenuh, saya membaca tulisan-tulisan saya sendiri yang lagi membara-membaranya sama sesuatu. Saya malu kadang-kadang, rasanya saya dulu kok lebih berapi-api yaa? Hahaha.

Dimanapun saya berada, saya sering meminta pada Allah bahwa itu adalah tempat terbaik bagi diri saya. Baik entah bagi perbaikan diri, ataupun semoga kehadiran saya baik bagi orang-orang disekitar saya.

Maka, tiap kali saya merasa salah ‘tempat’, saya berulangkali meminta pada Allah, yang meletakkan saya, agar terbuka mata hati saya tentang sisi terbaik yang belum saya pahami.

Salah satu yang saya pahami tentang keberadaan saya di RQ adalah, bahwa saya masih harus belajar untuk menjadi lebih kuat, dan lebih kuat lagi.

Sebenarnya, tiap ada orang yang berkomentar positif, atau kadang sedikit memuji keberadaan kami (saya dan santri lainnya) di RQ, sebenarnya saya justru tersenyum kecut dalam hati.

Ah, bagi saya, justru orang-orang di luar sistemlah yang keren. Maka saya justru memandang salut pada para santri non mukim yang rajin datang setoran pada Ummi. Mereka berusaha mensistemkan diri sendiri. Saya sendiri berpikir.. karena saya mengerti bahwa saya masih lemah, maka saya ingin menjebloskan diri saya pada sistem, pada sebuah komunitas yang bisa membantu menambal sisi lemah saya. Dan di sini sekarang saya berada.

Dan akhirnya, pola pikir seperti ini selalu saya terapkan dimanapun saya berpergian. Seperti misalnya dulu dalam perencanaan studi saya di sebuah negara. Yang saya kepo pertama kali, adakah pondok tahfidz di Negara itu? Atau adakah syaikh/ ustadz yang bisa menerima setoran hafalan saya? Atau minimal adakah komunitas muslim yang bisa mudah untuk bertemu dan minimal sekali bisa menyimak hafalan saya? Kalau bagian itu terpenuhi, baru saya cari universitas dan jurusan yang sesuai. Masa depan akhirat jauh lebih utama bukan. Tentu.

Seperti salah seorang ustadz yang pernah bercerita, jarak tempat beliau tinggal dan tempat setoran hafalan hampir 2 jam perjalanan. Tapi qadarullah, perjalanan dalam padatnya bis-bis Jakarta itu lah yang mengantarkan beliau pada gerbang para hufadz. Padahal beliau sambil kuliah, dan part time kerja bahkan. Memang ya, kalau azzam sudah begitu kuat, semuanya terasa ringan saja. Dan Allah memudahkannya.

Maka jika saya mulai dirundung rasa berat, saya akan mulai mengingatkan diri sendiri, tentang segala akses kemudahan di sini. Pun ketika saya nanti selesai dari sini, dimanapun saya berada, hal pertama yang ingin saya cari tahu adalah akses terdekat menuju kumpulan orang-orang shalih ini.

Dan sekarang saya masih di dalam sistem ini 🙂  Tidak akan saya sia-siakan. Tidak ingin saya tanam benih-benih penyesalan. Semoga Allah memudahkan hingga akhir perjalanan..>.< Amiiiin

 

 

 

 

Tentang Ujian

Ujian bukanlah saat seseorang bertemu hal-hal yang belum ia ketahui. Bukan pula tentang kesulitan seseorang saat dihadapkan pada hal-hal yang ia memiliki kekurangan padanya. Seperti halnya ujian-ujian sekolah. Ujian hanya akan diberikan setelah seorang murid mendapatkan ilmu yang cukup dari gurunya.

Bertemu dengan hal-hal yang belum kita ketahui, lalu kita merasa susah karenanya, bukanlah sebuah ujian. Itu kita sedang belajar. Berhadapan dengan hal-hal yang kita merasa kurang, bukan berarti kita sedang diuji, tapi kita sedang diajari. Meski tentu saja, ujianpun adalah bagian dari pembelajaran itu sendiri.

Namun jika dihubungkan dengan kehidupan, begitulah ujian dalam kehidupan. Ia tidak terjadi pada hal-hal yang kita sukar berhadapan dengannya. Ujian terjadi pada hal-hal yang kita sudah ‘merasa’ mengerti tentang perkara itu atau ‘merasa’ kuat tentangnya. Kita sedang diuji, sungguh-sungguh mengertikah kita? Benar-benar kuatkah kita?

Kalau sudah begitu, barulah kita sadar bahwa mungkin kita sudah menjadi sombong, atau sedikit sombong. Siapalah kita sehingga merasa kuat dan paling mengerti tentang ini dan itu. Allahlah yang begitu baik pada makhluk-Nya sehingga menitipkan sedikit kebaikan untuk membuat kita menjadi paham, dan bertahan untuk terus kuat.

Maka mohonlah pada Allah agar terus diberi kekuatan untuk menjalankan apa-apa yang telah kita pelajari. Agar diberi kepahaman yang dalam, serta diberi kekuatan… untuk terus bisa mempertahankan berbagai macam hal yang telah berusaha kita jaga selama ini. Karena kemana lagi kita meminta selain pada Dia Sang Pemilik Kekuatan?

Ya Allah, maafkan kami.. T.T

Rabbana la tuzigh qulubana ba’da id hadaitana wa hab lana min ladunka rahmah innaka antal wahhab (QS. Ali Imran:8)

(Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).

Rancangan-Nya, Sempurna.. :)

Akhir-akhir ini saya sedang senang sekali dengan perasaan yang menggantung. Ini semacam perasaan malu-malu-tapi-pengen-taunya orang yang sedang penasaran sama sesuatu. Atau semacam perasaan takut-takut-tapi-harus-berani saat seseorang akan menyebrang jalan ramai. Saya rasa, pada perasaan semacam ini, ada semacam latihan khusus yang disisipkan Allah pada saya.

Jadi beberapa waktu yang lalu, saya sama pacar halal saya (?) ngedate bareng di sebuah kedai kopi yang halal pula (???). Karena kami ini pasangan visioner (tsaaah…) quality time kami selalu berisi visi-visi jangka panjang soal keberlangsungan hidup kami (mau ngomong apa sih sebenernya -.-). Yaaah, begini pemirsa, sore itu saya menagih janjinya untuk cerita tentang ilmu yang ia dapat seusai silaturahim ke rumah salah satu Ustadzah. Beberapa hal tidak bisa saya ceritakan karena itu rahasia kami berdua *uhuk*, nah poin yang bisa saya bagi adalah pelajaran tentang menikah.

 Intinya, saat seorang wanita sedang dalam proses menuju pernikahan, ada masa dimana ia akan sedikit ‘galau’ dengan pilihannya. Benarkah pilihan saya benar? Apa benar orang ini yang namanya tertulis untuk saya. Apakah begini apakah begitu? Dan berbagai macam kegalauan lain yang senada. Dan disitulah Ustadzah memberi nasehat. Bahwa daripada mengkhawatirkan hal-hal semacam itu, ada hal yang jauuuh lebih harus kami persiapkan sebagai seorang muslimah. Adalah tentang kesiapan kami menjadi seorang IBU.

Maka perkara perasaan gundah gulana yang awalnya dirasa amat memusingkan itu bagai butiran debu.

Nasihat ustadzah, daripada menggalaukan hal-hal semacam itu, lebih baik sekarang mempersiapkan diri baik mental, fisik, maupun skill, untuk menjadi ibu yang luar biasa nantinya. Siapa bilang mengandung itu menyenangkan? Tidak, hamil itu payah. Fisik yang berubah, hormon, perasaan, dan lain-lain itu- kalau kalian tidak siap menjadi seorang ibu, hamil itu akan terasa amat menyusahkan. Siapa bilang menyusui itu hal sepele? Ritme tidur yang jelas berubah total dan sesuai dengan kondisi bayi yang mungkin sering terbangun tengah malam, tangan yang harus menggendong berjam-jam untuk menenangkan anak kita- itu kalau tidak siap jadi ibu, sudah pasti akan suram sekali hari-hari rasanya untuk dijalani.

Siapa bilang ngurus bayi itu mudah? Disini ustadzah bercerita sedikit tentang kisah beliau dan suami. Betapa beliau sangat bersyukur (menikah) dengan suami beliau. Saat itu, ustadzah menikah di saat keduanya masih kuliah sementara suami sedang proses mengerjakan skripsi. Nah disaat-saat begitu ternyata Allah sudah menitipkan amanah seorang anak pada beliau dan suami. Maka, saat ustadzah sedang dalam kondisi lelah karena menggendong anak seharian, menyusui, dll, sepulangnya dari kampus, sang suami lah yang mencucikan popok2 bayi mereka, bahkan di saat musim hujan, suami beliau menjemur dan membuat semacam lampu petromax di sekitaran jemuran agar cepat mengering, membagi kain kotor bayi pada ember dengan label-label seperti bekas BAB, BAK, dst.. ditengah kesibukan sang suami menyelesaikan skripsi.. Itu, kesiapan mental seperti itu, kesiapan untuk menjadi bapak, atau seperti fokus awal pembahasan, jika kesiapan menjadi seorang ibu tidak dikuasai, maka pasti sudah akan berat sekali terasa perjalanan sebuah rumah tangga. Kata Ustadah, harusnya hal begini yang lebih banyak kalian persiapkan sebagai seorang muslimah sebelum menikah.

Belum lagi nanti strategi2 mendidik anak, membuat suasana menyenangkan di rumah, menanamkan nilai akidah pada anak, membuat anak cinta pada Qur’an… dan berbagai macam hal lainnya yang harusnya dipersiapkan. Memang, sambil berjalannya waktu, pasangan suami isteri akan terus belajar, tapi bukankah akan lebih baik jika semuanya sudah berbekal ilmu? Ilmu itu cahaya, maka cahaya inilah yang membantu menerangi kita saat mengalami gelap pada beberapa fase kehidupan nantinya.

Dan setelah disentak oleh semua kesadaran tentang hal ini, maka saya pun menjadi bersyukur atas takdir amat cantik yang Allah rancangkan bagi saya.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”  (QS. Al-Baqarah : 216).

Rasanya saya malu sendiri pada perasaan saya beberapa waktu silam saat Ummi meminta saya menjadi musyrifah bagi RQ anak. Perasaan tidak adil saat Ummi tidak mengijinkan saya untuk mempersiapkan kelanjutin studi saya di sebuah negara, saat Ummi dengan mudahnya mengatur perjalanan hidup saya tanpa ada win-win solution yang pas bagi saya. Saat kemudian akhirnya saya, tetap mematuhinya. Dengan pertimbangan bahwa amanah yang diberi Ummi pada saya sudah kewajiban, dan dipoles kekaguman saya akan perilaku Ustadz yang amat patuh pada gurunya. Akhirnya saya memutuskan saya patuh pada Ummi.

Dan kini di mata saya, rencana Allah itu begitu indahnya. Di saat yang sama saat kesadaran saya diingatkan kembali tentang kesiapan menjadi seorang ibu, sebentar lagi saya akan dihadapkan pada kenyataan bahwa saya benar-benar akan menjadi seorang “Ibu” bagi kedepalan orang gadis kecil yang amat bersemangat menghafal Qur’an T.T

“Mendidik lelaki jadilah lelaki, mendidik wanita jadilah segenerasi” (quoted dr film Qur’an by Heart)

Dan lihat, tinggal hitungan hari hingga nantinya saya akan bertemu dengan delapan gadis kecil yang InshaaAllah akan menjadi tonggak generasi Islam *amiiiiiin….*

Maka sekarang saya sedang belajar tentang seni bersyukur 🙂 , bersyukur pada roda takdir yang sedang diputar-Nya bagi saya. Bersyukur atas rancangan-Nya yang sempurna.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman)

Alhamdulillah….. :’)

 

-Rumah Qur’an/ 19.11.2013-

 

 

 

Hujan Bulan Juni

HUJAN BULAN JUNI

 

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu                         

1989, Sapardi Djoko Damono

 

Anda tahu?

Hujan tidak pernah muncul di bulan Juni, manakala penulis menulis puisi ini.

Karenanya, puisi ini semakin menyiratkan banyak makna, dan menyembunyikan banyak luapan rasa.

Dan karenanya pula saya semakin suka.

Jadi biarkan saja.

Semuanya bersembunyi dibalik pohon berbunga, jalanan, dan akar yang menghujam ke dalam.

Karena hujan mengerti, kapan masanya membasahi semesta…

 

PS: Sebelum disangka yang bukan-bukan jadi saya tegaskan bahwa saya sungguh sedang baik-baik saja. 🙂

 

 

 

 

KELAK SAAT KITA JADI IBU

Repost  dari sini
Jika suatu saat kau jadi ibu, …….
Jadilah kalian seperti Asma’ binti Abu Bakar yang berhasil mengobarkan semangat Abdullah bin Zubair (anaknya) yang dengan menakjubkan sanggup bertahan dari gempuran Hajjaj bin Yusuf as-Saqafi, kokoh mempertahankan keimanan dan kemuliaan tanpa mau tunduk kepada kezaliman. Hingga syahid menjemputnya. Namanya abadi dalam sejarah dan kata-kata Asma’ “Isy kariman au mut syahiidan! (Hiduplah mulia, atau mati syahid!),”…. abadi hingga kini.
Jika suatu saat kau jadi ibu,……
Jadilah seperti Nuwair binti Malik yang berhasil menumbuhkan kepercayaan diri dan mengembangkan potensi sang anaknya yang kala itu masih remaja. Usianya baru 13 tahun ketika ia datang membawa pedang yang panjangnya melebihi panjang tubuhnya, untuk ikut perang badar. Rasulullah yang tak mengabulkan keinginannya, membuat sang ibu mampu meyakinkannya untuk bisa berbakti kepada Islam dan melayani Rasulullah dengan potensinya yang lain ketika ia kembali kepada ibunya dengan hati sedih.
Dan tak lama kemudian ia diterima Rasulullah karena kecerdasannya, kepandaiannya menulis dan menghafal Qur’an. Beberapa tahun berikutnya, ia terkenal sebagai sekretaris wahyu. Karena ibu, namanya akrab di telinga kita hingga kini…………… Zaid bin Tsabit.
Jika suatu saat kau jadi ibu……..
Jadilah seperti Shafiyyah binti Maimunah yang rela menggendong anaknya yang masih balita ke masjid untuk shalat Subuh berjamaah. Keteladanan dan kesungguhan Shafiyyah mampu membentuk karakter anaknya untuk taat beribadah, gemar ke masjid dan mencintai ilmu. Kelak, ia tumbuh menjadi ulama hadits dan imam Madzhab. Ia tidak lain adalah…………Imam Ahmad.
Jika suatu saat kau jadi ibu…..
Jadilah ibu yang terus mendoakan anaknya. Seperti Ummu Habibah. Sejak anaknya kecil, ibu ini terus mendoakan anaknya. Ketika sang anak berusia 14 tahun dan berpamitan untuk merantau mencari ilmu, ia berdoa di depan anaknya:
“Ya Allah Tuhan yang menguasai seluruh alam! Anakku ini akan meninggalkan aku untuk berjalan jauh, menuju keridhaanMu. Aku rela melepaskannya untuk menuntut ilmu peninggalan Rasul-Mu. Oleh karena itu aku bermohon kepada-Mu ya Allah, permudahlah urusannya. Peliharalah keselamatannya, panjangkanlah umurnya agar aku dapat melihat sepulangnya nanti dengan dada yang penuh dengan ilmu yang berguna, amin!”.
Doa-doa itu tidak sia-sia. Muhammad bin Idris, nama anak itu, tumbuh menjadi ulama besar. Kita mungkin tak akrab dengan nama aslinya, tapi kita pasti mengenal nama besarnya……….Imam Syafi’i.
Jika suatu saat kau jadi ibu……
Jadilah ibu yang menyemangati anaknya untuk menggapai cita-cita. Seperti ibunya Abdurrahman. Sejak kecil ia menanamkan cita-cita ke dalam dada anaknya untuk menjadi imam masjidil haram, dan ia pula yang menyemangati anaknya untuk mencapai cita-cita itu.
“Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah menghafal Kitabullah, besok kamu adalah Imam Masjidil Haram…”, katanya memotivasi sang anak. “Wahai Abdurrahman, sungguh-sungguhlah, besok kamu adalah imam masjidil haram…”
Sang ibu tak bosan-bosannya mengingatkan. Hingga akhirnya Abdurrahman benar-benar menjadi imam masjidil Haram dan ulama dunia yang disegani. Kita pasti sering mendengar murattalnya diputar di Indonesia, karena setelah menjadi ulama, anak itu terkenal dengan nama………. Abdurrahman As-Sudais.
PS: Yaa, harusnya semoga kelak, bukan semoga jika 🙂

Ibu Anak Masa Kini ~.~

Hasil nguping saya di swalayan. Aktornya seorang ibu dan anak perempuannya (kurang lebih berusia 5-6 tahun).

Anak      : Bu, tukokne aku handbody… (dengan nada manja, sembari melihat-lihat ke arah rak-rak lotion WANITA DEWASA )

Ibu         : Lho, emang ono handbody nggo cah cilik?

Anak      : Emmm…… (nada merajuk). Golekne….

Ibu         : Wingi kan wes ibu tukokne lipstik, saiki njaluk handbody…

Me         : (lipstik????@#$^#&BF ~~)

Masih ingin nguping tapi saya harus ke blok peralatan lain, berpisah dengan kedua orang tadi. Saat saya mampir di blok sabun bayi, eh… ketemu lagi XD

Ibu         : Nok, waiki! Ono handbody nggo anak-anak. Iki wae yha…  

*HAPPY ENDING*

Me         : (hahahahaha)>.<

Menjaga Rasa Percaya

Bermula dari rasa percaya.

Berawal dari rasa percaya bahwa Allah itu ada, maka kemudian iman bersemi di dalam hati. Percaya bahwa amal shalih dapat menghantarkan perjumpaan kita pada Sang Maha Pencipta (1) maka kemudian kita bergiat dalam beribadah kepada-Nya. Percaya bahwa Allah itu Esa dan Yang Maha Kuasa atas segalanya, maka makin kuat akidah kita, makin taat kita kepadanya. (2)

Bermula dari rasa percaya.

Masuknya Abu Bakar ke dalam Islam tentu saja karena hidayah dari Allah SWT. Namun jika ditelusuri, munculnya hidayah selaras dengan besarnya rasa percaya Abu Bakar pada sang sahabat karib, Muhammad bin Abdullah.

Bermula dari rasa percaya.

Begitu banyak kebaikan-kebaikan bersemi dari tumbuhnya rasa saling percaya. Meski rasa-rasanya, stok rasa percaya ini semakin lama semakin berkurang jumlahnya. Ah ya, berkata begini berarti saya juga sedang-kurang-percaya-ya? -.-”

Yah, tentu saja saya tidak sedang pukul rata 🙂 Pada beberapa orang saja, yang sedang krisis rasa percaya.

Murid-murid yang mencontek selama ujian. Sedang kurang rasa percayanya pada ikhtiar dan doa.

Para remaja, para anak muda, yang suka merokok atau minum-minuman, suka nongkrong-nongkrong tidak jelas, dengan alasan menghilangkan rasa gundah atau lelah…  sedang terkikis rasa percayanya pada Al-Qur’an sebagai obat paling mujarab bagi hati.

Para orangtua yang berbondong-bondong mengirimkan anaknya pada program pelatihan anak jenius dalam sehari (if you know what I mean ^^), sedang terkikis rasa percayanya akan kemampuan luarbiasa yang Allah titipkan pada buah hatinya.

Padahal dari rasa percaya, bermula berjuta kebaikan lainnya. Dan menurut saya, menjaga kualitas rasa percaya, dapat melahirkan kebaikan berkualitas lainnya.

<Ehm, maksudnya?>

Begini, begini. Kita ambil contoh dari orang yang saling pacaran. Orang yang sedang pacaran, berarti dia sedang kurang percaya pada Allah soal takdir-tentang jodoh yang sepadan yang sudah disiapkan baginya. Maka rusak sudah kualitas percayanya pada Allah karena hal itu. Terlebih jika pacaran ini putus, maka saat akan mulai menjalin hubungan dengan orang lain, bukan tidak mungkin dia akan membutuhkan waktu untuk mulai memberikan rasa percayanya pada pasangannya yang baru. See? Bukankah kualitas rasa percaya yang ia miliki, yang akan ia bagi pada seseorang yang baru, sudah tidak dalam kondisi prima lagi? Sedang diupayakan, setidaknya.

Begitulah.

Semoga kita termasuk orang-orang yang masih kaya dengan rasa percaya.

Percaya bahwa seseorang akan memegang janjinya pada kita, muaranya adalah rasa khusnudzan, dan doa agar orang tersebut tetap setia dengan janji-janjinya.

Menjaga rasa percaya yang dititipkan seseorang melalui amanah-amanah, tugas-tugas yang diberikannya pada kita, muaranya adalah sikap totalitas kita pada kerja-kerja kita.

Menjaga kualitas rasa percaya dengan mempercayai dan menjadi yang dipercaya.

Menjaga kualitas rasa percaya, maka semoga kelak melahirkan amalan-amalan yang berkualitas pula. Amiin.

-yang sedang belajar mempercayai, dan dipercayai-

Referensi:

(1)    Al-Kahfi: 110 >> “Katakanlah: ‘Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa. Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah dia mengerjakan amal shalih dan janganlah dia mempersekutukan seorang pun dalam beribadah kepada Tuhannya.”

(2)    An-Nahl: 51-52>> “Allah berfirman: Janganlah kamu menyembah dua tuhan; sesungguhnya Dialah Tuhan Yang Maha Esa, maka hendaklah kepada-Ku saja kamu takut. Dan kepunyaan-Nya lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya lah ketaatan itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa kepada selain Allah?”

 

Petasan di Penghujung Ramadhan

Saat mimpi kita terwujud lebih cepat, semoga itu pertanda bahwa Allah percaya bahwa kita akan mampu mengerjakan mimpi-mimpi besar lainnya.

28 Juli 2013/ RQ anak pukul 18.30

Adalah malam pertama dari sepertiga terakhir bulan Ramadhan, sekaligus hari terakhir saya mengajar santri RQ anak.

Hari dimana saya dilamar oleh Ummi untuk sebuah amanah baru. Senang sekaligus takut.

Senang karena amanah itu termasuk dalam list mimpi2 saya. Takut karena, yah, ini terlalu cepat.

Mimpi itu, ingin saya wujudkan saat saya sudah fashih berbincang Arabic. Saat saya sudah dapat sanad dari Syaikh timur tengah (amiiin), dan tentu saja, saat hafalan ini sudah mutqin semuanya dan terulang ratusan atau ribuan kali dari lisan saya.

Tapi ia datang saat saya masih cupu dan ingusan begini, fiuh.

Saya pikir saya tidak bisa saat ini, saya belum pantas.

 

Akan tetapi……. “Laa yukallifullahu nafsan illaa wus’aha”

Maka, saya ulang-ulang meyakinkan diri sendiri, dan berdoa… semoga… semuanya akan baik-baik saja. Amiin.

Fenomena Rokok di Indonesia

Ah Indonesia, terlihat menyedihkan sekali di video ini :(. Semoga yang ngerokok, yang lagi niat mau ngerokok segera dapet hidayah dan stop smoking!

“Sungguh beruntung orang yang beriman, yaitu…. orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna…….Dan sungguh beruntung orang-orang yang memelihara amanat dan janjinya” (QS. Al-Mu’minun 3 dan 8)

Well, badan kita, adalah amanah dari Allah untuk kita jaga. Kecuali mungkin ada yang salah dengan iman kita, sehingga… kita dengan suka cita merusak titipan-Nya.