Napak Tilas

Sudah hampir 3 tahun.. dan saya senyum sendiri saat membaca postingan saya di tahun 2011 ini. Terkadang saat merasa jenuh, saya membaca tulisan-tulisan saya sendiri yang lagi membara-membaranya sama sesuatu. Saya malu kadang-kadang, rasanya saya dulu kok lebih berapi-api yaa? Hahaha.

Dimanapun saya berada, saya sering meminta pada Allah bahwa itu adalah tempat terbaik bagi diri saya. Baik entah bagi perbaikan diri, ataupun semoga kehadiran saya baik bagi orang-orang disekitar saya.

Maka, tiap kali saya merasa salah ‘tempat’, saya berulangkali meminta pada Allah, yang meletakkan saya, agar terbuka mata hati saya tentang sisi terbaik yang belum saya pahami.

Salah satu yang saya pahami tentang keberadaan saya di RQ adalah, bahwa saya masih harus belajar untuk menjadi lebih kuat, dan lebih kuat lagi.

Sebenarnya, tiap ada orang yang berkomentar positif, atau kadang sedikit memuji keberadaan kami (saya dan santri lainnya) di RQ, sebenarnya saya justru tersenyum kecut dalam hati.

Ah, bagi saya, justru orang-orang di luar sistemlah yang keren. Maka saya justru memandang salut pada para santri non mukim yang rajin datang setoran pada Ummi. Mereka berusaha mensistemkan diri sendiri. Saya sendiri berpikir.. karena saya mengerti bahwa saya masih lemah, maka saya ingin menjebloskan diri saya pada sistem, pada sebuah komunitas yang bisa membantu menambal sisi lemah saya. Dan di sini sekarang saya berada.

Dan akhirnya, pola pikir seperti ini selalu saya terapkan dimanapun saya berpergian. Seperti misalnya dulu dalam perencanaan studi saya di sebuah negara. Yang saya kepo pertama kali, adakah pondok tahfidz di Negara itu? Atau adakah syaikh/ ustadz yang bisa menerima setoran hafalan saya? Atau minimal adakah komunitas muslim yang bisa mudah untuk bertemu dan minimal sekali bisa menyimak hafalan saya? Kalau bagian itu terpenuhi, baru saya cari universitas dan jurusan yang sesuai. Masa depan akhirat jauh lebih utama bukan. Tentu.

Seperti salah seorang ustadz yang pernah bercerita, jarak tempat beliau tinggal dan tempat setoran hafalan hampir 2 jam perjalanan. Tapi qadarullah, perjalanan dalam padatnya bis-bis Jakarta itu lah yang mengantarkan beliau pada gerbang para hufadz. Padahal beliau sambil kuliah, dan part time kerja bahkan. Memang ya, kalau azzam sudah begitu kuat, semuanya terasa ringan saja. Dan Allah memudahkannya.

Maka jika saya mulai dirundung rasa berat, saya akan mulai mengingatkan diri sendiri, tentang segala akses kemudahan di sini. Pun ketika saya nanti selesai dari sini, dimanapun saya berada, hal pertama yang ingin saya cari tahu adalah akses terdekat menuju kumpulan orang-orang shalih ini.

Dan sekarang saya masih di dalam sistem ini 🙂  Tidak akan saya sia-siakan. Tidak ingin saya tanam benih-benih penyesalan. Semoga Allah memudahkan hingga akhir perjalanan..>.< Amiiiin

 

 

 

 

One thought on “Napak Tilas

  1. Hmm, kadang isin… jarak tempat kerja sama tempat tidur cuman semeter, tapi males2an kerja…
    Diberi kebebasan luas, tapi malah amburadul jam-jamnya, boro2 ngapalin, tadarus aja sering kelewatan, ah manusia…

Leave a comment