Hanya dua kata yang bisa menggambarkannya: LUAR BIASAAAAA…!! T.T (saya sampai terharu-halah).
Yah, apa itu PDKT. Ada baiknya baca dulu postingan saya sebelumnya.
Oke, saya mungkin akan berbagi tentang apa yang saya dapatkan di sesi2 materi dalam postingan lain, and now.. as usual, I have many stories to share.
Mulai dari pagi hari, saya belingsatan berangkat ke Balairung UGM, panitia minta semuanya kumpul, jam 06.30 pagi.. padahal jam 6, saya masih gunting2 and nyobekin kardus2 buat jadi cover kliping (belum siap2, belum packing, dan belum2 lainnnya..). Err.. akhirnya saya telat kumpul, skitar jam 06.40 saya sampe. Dan u know what, baru ada 1 biji peserta yang dateng….
Ahhh.. padahal saya laper banget dan ini sekian kalinya saya tidak makan jatah sarapan saya di pondok (kan sayang uangnya ). Selain itu, saya juga didera rasa kantuk yang amat sangat, mata saya membiru. Efek begadang sampai jam 2 untuk bikin kliping. Sebenernya saya udah nyiapin dari pagi, kek gunting2.. dst, tapi malamnya malah saya latian gitar, sampai kapalan, rencananya persiapan buat haflah (pentas seni) besok, meski akhirnya saya nggak jadi gitar karena satu, dua hal.
Tapi saya tetep seneng sih. Rasa penasaran saya sama acara ini lebih mendominasi ;D
Materi pertama diisi sama penulis buku best seller.. Bapak Sholihin Abu Izzudin. Buku2 bliau yang best seller diantaranya, “From Zero to Hero, The Way to Win, Happy Ending Full Barokah, dll”. Menyenangkan, acaranya bagus, dan menggugah. Buktinya, saya tidak “tertidur”. Mengingat konsisi cuaca, angin, perut..sudah jadi kombinasi sempurna untuk mimpi indah pagi menjelang siang itu. Kata-kata yang sangat mengena buat saya, dan saya tulis gede2 di buku catetan saya ini:
“Tulisan yang baik bukan untuk meyakinkan orang sama apa yang kita tulis, lebih dari itu, tulisan yang baik adalah tulisan yang MELIBATKAN”
Sama kata2 ini:
“Royalti terbesar adalah ketika tulisan kita bisa mengajak orang pada hidayah ALLAH”.
Hbis itu.. waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh elemen tubuh saya. MAKAN. ;D Saya lapar pangkat 100.. ~.~ Alhamdulillah.. makanannya cukup bergizi, jadi, kebutuhan pangan saya terpenuhi dengan baik siang itu. Habis itu tentu saja, langsung sholat.
Siang. Masuk ke materi kedua. Alamak.. setan udah bergelayutan disetiap ujung bulu mata saya, ngajak biar terkatup kedua-duanya. Parahnya saya lupa gak bawa permen atau yang semacamnya. Beruntung, moderatornya menyelamatkan karir kepenulisan saya (halah) karena bikin saya nggak terlalu ngantuk dengan ice breakingnya, jadi saya tetep dapet asupan ilmu menulis siang itu. Materi ini diisi sama Pak Sudaryanto, alumni FLP angkatan.. berapa ya? Lupa. Intinya tentang: “Kenapa Harus Menulis?” Banyak ilmunya, tentu saja. Mulai dari sharing beliau tentang artikel yang ditolak selama setahun penuh oleh KOMpas. Dan berakhir happy ending di tahun berikutnya, yak! Apalagi kalau bukan diterima.
Ehm.. saya jadi tambah semangat pengen nyoba ngirim ke koran nasional. Sejauh ini karya saya baru dipublish di jurnal internasional (hahahaa… gayamu hus!). Di publish karena emang Karya saya lolos konferensi. Tapi rasanya lebih susah nembus Kompas, Tempo, atau media nasional lainnya. Mungkin karena efek belum mencoba, jadi inferioritas berlebihan begini.
Salah satu hal baru yang saya dapatkan siang itu adalah perbedaan cara pembayaran untuk seorang penulis. Ada yang namanya beli putus, dan ada juga yang namanya royalti. Kalau beli putus, karya seorang penulis dihargai saat pemberian naskah penulis pada penerbit, jadi fee yang diberikan dihitung berdasarkan ‘harga’ perhalaman dikali jumlah halamannya. Jadi proses pembayaran seperti ini hanya terjadi di awal perjanjian. Penulis ngasih karya, lalu feenya dibayarkan saat itu juga. Neat. Sedangkan pembayaran dengan cara royalti, penulis akan memperoleh ‘bayaran’ per 3 bulannya sesuai dengan laporan tentang berapa eksemplar bukunya laku terjual. Sistem royalti berlaku seumur hidup, bahkan bila masih terus menjadi best seller bukunya sementara sang penulis sudah tiada, royalti bisa diberikan pada orang yang mewarisi atau keluarga terdekat sesuai permintaan penulis. Wow.. jadi kepikiran untuk memasukkan salah satu ‘kriteria’ calon suami: bisa jadi penulis best seller, HAHAHA..
Sore. Waktunya haflah. Nasib saya agak suram kalau tidak bisa dibilang sangat buruk pas haflah.
Kelompok lain keren2!!!!Errr.. saya sendiri paling suka dengan penampilannya Wiyat dengan tembang Sinom yang dibaca selayaknya puisi, dan tentu saja.. peran setan dalam dramatisasi puisi kelompoknya ini, siapa itu yang ikhwan namanya saya lupa. Pokoknya suka aja pas bilang “Orrrraaaa isssoooo” , sambil diucapkan kayak gendruo (red. setan). Mantap jaya! 😀 Slain itu saya juga suka dengan drama kelompoknya si JE, yang pas itu sendiri dia berkostum balutan koran (kek mumi gitu loh, tapi buntelannya pake koran =__=’), yang mengibaratkan nasib pers yang dulu dan sekarang. Hmm, analogi dengan manusia berbalut koran itu cukup menarik perhatian saya.
Nah, bagaimana dengan kelompok saya? Ah, malu lah. Pas kumpul rapat dulu sebenernya saya ingin usul dramatisasi puisi juga, supaya hidup, tapi pas itu Rima usul untuk nggubah lagu (bener gak rim?), dan sepertinya ide yang cukup bagus juga, finally.. kami nampilkan musikalisasi puisi.. Kalau ide saya sendiri sebenernya berhubungan dengan nama tim. Pandhawa Islam nama tim kami, jadi konsep ceritanya semua tim itu laki2, saya dan temen akhwat akan berperan sebagai laki2. Dalam imajinasi saya, dramanya akan berkisah tentang para ksatria Pandhawa yang mutung untuk menjaga keamanan negeri Indonesia, karena merasa tidak dihargai. Akhirnya kelima ksatrian memutuskan untuk berpencar di seluruh pelosok dunia, dan menjadi ksatria di sana, dimana saja asal bukan Indonesia. Ada yang di Amerika (terus nanti ada yang berperan sebagai patung liberty, haha ;D ), ada yang di Jepang, di Mesir, dll. Namun pada akhirnya mereka sadar bahwa bagaimanapun juga Indonesia adalah negara yang paling ingin mereka jaga. Akhirnya kelima Pandhawa kembali ke Indonesia,namun sayang seribu sayang, negeri tercinta ini kacaunya bukan main, seperti negara habis perang. Ini sebenernya sejenis analogi tentang bagaimana bangsa kita banyak yang lebih merasa dihargai di luar negeri, dan ‘lupa’ untuk membangun negerinya sendiri. Ah, ide ini, belum terealisasi, tapi nggak apa.. semoga masih ada hari esok di FLP. Insya Allah. 🙂
Malam hari. Yah.. acara utamanya menurut saya adalah saat membangun rumah harapan kami di FLP. Banyak yang bisa membuka diri, bahkan kami jadi tau bahwa salah satu diantara kami ada yang menjadi salah satu korban kerusuhan Poso, dan oleh karenanya kisah kehidupan di Jogja terasa begitu manis baginya, terlebih ketika masuk FLP, rasanya bahagia, begitu katanya.. Mantap! Ini cara yang bagus untuk membangun sense belonging anda terhadap organisasi. ^__^
Malam pertama kami diakhiri dengan acara game dan kado silang. Entah senang atau sedih, saya dapat lipatan kertas origami yang ditulisin “Maaf saya belum bawa kado. Besok, saya kasih buku ya!”. Lalu dikasih CP mbak2nya. Heuuu. haha
Any way, first day was dazzling. FLP.. mempesona saya. 🙂
Dan sepertinya akan terus begitu. Semoga 🙂
(to be continued..)