Rancangan-Nya, Sempurna.. :)

Akhir-akhir ini saya sedang senang sekali dengan perasaan yang menggantung. Ini semacam perasaan malu-malu-tapi-pengen-taunya orang yang sedang penasaran sama sesuatu. Atau semacam perasaan takut-takut-tapi-harus-berani saat seseorang akan menyebrang jalan ramai. Saya rasa, pada perasaan semacam ini, ada semacam latihan khusus yang disisipkan Allah pada saya.

Jadi beberapa waktu yang lalu, saya sama pacar halal saya (?) ngedate bareng di sebuah kedai kopi yang halal pula (???). Karena kami ini pasangan visioner (tsaaah…) quality time kami selalu berisi visi-visi jangka panjang soal keberlangsungan hidup kami (mau ngomong apa sih sebenernya -.-). Yaaah, begini pemirsa, sore itu saya menagih janjinya untuk cerita tentang ilmu yang ia dapat seusai silaturahim ke rumah salah satu Ustadzah. Beberapa hal tidak bisa saya ceritakan karena itu rahasia kami berdua *uhuk*, nah poin yang bisa saya bagi adalah pelajaran tentang menikah.

 Intinya, saat seorang wanita sedang dalam proses menuju pernikahan, ada masa dimana ia akan sedikit ‘galau’ dengan pilihannya. Benarkah pilihan saya benar? Apa benar orang ini yang namanya tertulis untuk saya. Apakah begini apakah begitu? Dan berbagai macam kegalauan lain yang senada. Dan disitulah Ustadzah memberi nasehat. Bahwa daripada mengkhawatirkan hal-hal semacam itu, ada hal yang jauuuh lebih harus kami persiapkan sebagai seorang muslimah. Adalah tentang kesiapan kami menjadi seorang IBU.

Maka perkara perasaan gundah gulana yang awalnya dirasa amat memusingkan itu bagai butiran debu.

Nasihat ustadzah, daripada menggalaukan hal-hal semacam itu, lebih baik sekarang mempersiapkan diri baik mental, fisik, maupun skill, untuk menjadi ibu yang luar biasa nantinya. Siapa bilang mengandung itu menyenangkan? Tidak, hamil itu payah. Fisik yang berubah, hormon, perasaan, dan lain-lain itu- kalau kalian tidak siap menjadi seorang ibu, hamil itu akan terasa amat menyusahkan. Siapa bilang menyusui itu hal sepele? Ritme tidur yang jelas berubah total dan sesuai dengan kondisi bayi yang mungkin sering terbangun tengah malam, tangan yang harus menggendong berjam-jam untuk menenangkan anak kita- itu kalau tidak siap jadi ibu, sudah pasti akan suram sekali hari-hari rasanya untuk dijalani.

Siapa bilang ngurus bayi itu mudah? Disini ustadzah bercerita sedikit tentang kisah beliau dan suami. Betapa beliau sangat bersyukur (menikah) dengan suami beliau. Saat itu, ustadzah menikah di saat keduanya masih kuliah sementara suami sedang proses mengerjakan skripsi. Nah disaat-saat begitu ternyata Allah sudah menitipkan amanah seorang anak pada beliau dan suami. Maka, saat ustadzah sedang dalam kondisi lelah karena menggendong anak seharian, menyusui, dll, sepulangnya dari kampus, sang suami lah yang mencucikan popok2 bayi mereka, bahkan di saat musim hujan, suami beliau menjemur dan membuat semacam lampu petromax di sekitaran jemuran agar cepat mengering, membagi kain kotor bayi pada ember dengan label-label seperti bekas BAB, BAK, dst.. ditengah kesibukan sang suami menyelesaikan skripsi.. Itu, kesiapan mental seperti itu, kesiapan untuk menjadi bapak, atau seperti fokus awal pembahasan, jika kesiapan menjadi seorang ibu tidak dikuasai, maka pasti sudah akan berat sekali terasa perjalanan sebuah rumah tangga. Kata Ustadah, harusnya hal begini yang lebih banyak kalian persiapkan sebagai seorang muslimah sebelum menikah.

Belum lagi nanti strategi2 mendidik anak, membuat suasana menyenangkan di rumah, menanamkan nilai akidah pada anak, membuat anak cinta pada Qur’an… dan berbagai macam hal lainnya yang harusnya dipersiapkan. Memang, sambil berjalannya waktu, pasangan suami isteri akan terus belajar, tapi bukankah akan lebih baik jika semuanya sudah berbekal ilmu? Ilmu itu cahaya, maka cahaya inilah yang membantu menerangi kita saat mengalami gelap pada beberapa fase kehidupan nantinya.

Dan setelah disentak oleh semua kesadaran tentang hal ini, maka saya pun menjadi bersyukur atas takdir amat cantik yang Allah rancangkan bagi saya.

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh Jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.”  (QS. Al-Baqarah : 216).

Rasanya saya malu sendiri pada perasaan saya beberapa waktu silam saat Ummi meminta saya menjadi musyrifah bagi RQ anak. Perasaan tidak adil saat Ummi tidak mengijinkan saya untuk mempersiapkan kelanjutin studi saya di sebuah negara, saat Ummi dengan mudahnya mengatur perjalanan hidup saya tanpa ada win-win solution yang pas bagi saya. Saat kemudian akhirnya saya, tetap mematuhinya. Dengan pertimbangan bahwa amanah yang diberi Ummi pada saya sudah kewajiban, dan dipoles kekaguman saya akan perilaku Ustadz yang amat patuh pada gurunya. Akhirnya saya memutuskan saya patuh pada Ummi.

Dan kini di mata saya, rencana Allah itu begitu indahnya. Di saat yang sama saat kesadaran saya diingatkan kembali tentang kesiapan menjadi seorang ibu, sebentar lagi saya akan dihadapkan pada kenyataan bahwa saya benar-benar akan menjadi seorang “Ibu” bagi kedepalan orang gadis kecil yang amat bersemangat menghafal Qur’an T.T

“Mendidik lelaki jadilah lelaki, mendidik wanita jadilah segenerasi” (quoted dr film Qur’an by Heart)

Dan lihat, tinggal hitungan hari hingga nantinya saya akan bertemu dengan delapan gadis kecil yang InshaaAllah akan menjadi tonggak generasi Islam *amiiiiiin….*

Maka sekarang saya sedang belajar tentang seni bersyukur 🙂 , bersyukur pada roda takdir yang sedang diputar-Nya bagi saya. Bersyukur atas rancangan-Nya yang sempurna.

“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (QS. Ar-Rahman)

Alhamdulillah….. :’)

 

-Rumah Qur’an/ 19.11.2013-

 

 

 

Hujan Bulan Juni

HUJAN BULAN JUNI

 

tak ada yang lebih tabah
dari hujan bulan juni
dirahasiakannya rintik rindunya
kepada pohon berbunga itu

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya

yang ragu-ragu di jalan itu

tak ada yang lebih arif
dari hujan bulan juni
dibiarkannya yang tak terucapkan

diserap akar pohon bunga itu                         

1989, Sapardi Djoko Damono

 

Anda tahu?

Hujan tidak pernah muncul di bulan Juni, manakala penulis menulis puisi ini.

Karenanya, puisi ini semakin menyiratkan banyak makna, dan menyembunyikan banyak luapan rasa.

Dan karenanya pula saya semakin suka.

Jadi biarkan saja.

Semuanya bersembunyi dibalik pohon berbunga, jalanan, dan akar yang menghujam ke dalam.

Karena hujan mengerti, kapan masanya membasahi semesta…

 

PS: Sebelum disangka yang bukan-bukan jadi saya tegaskan bahwa saya sungguh sedang baik-baik saja. 🙂