Random Thought

Saya membayangkan, mungkin saja di sebuah desa yang amat pelosok, yang jauh dari ramainya kicauan twitter, tag-tag an di facebook, publikasi media massa, ataupun penghargaan macam-macam lainnya, ada seorang penghafal Qur’an yang mengabdikan dirinya sepenuhnya untuk umat. Visinya hanya untuk akhirat. Setelah meraup ilmu banyak-banyak dari berbagai ulama, lantas ia memutuskan untuk mencari sebuah negeri masih miskin nuansa ukhrawi. Tak pernah ada wartawan datang lantas bertanya, “bisakah anda ceritakan bagaimana proses belajar anda sampai bisa menjadi sekeren ini?”. Ataupun ada seorang penulis kawakan yang menawarkan, “maukah kisah anda saya tulis menjadi biografi?”. Tanpa bermaksud menganggap kurang para ulama yang terpublikasi karena karya-karya besarnya, saya hanya merasa iri saja pada orang seperti ini. Betapa banyak list amalan baiknya yang ditulis malaikat Raqib, tanpa harus dikorting dan dikurangi karena riya, sum’ah, kotornya niat, dan berbagai macam penyakit hati lainnya. Betapa banyak rahasia-rahasia kebaikan yang ia simpan, dan hanya Allah yang Tahu.

Sementara kisah di atas  hanya imajinasi saya belaka, ada kisah nyata yang sudah terbukti benarnya. Ustadz Sholihun bercerita, beberapa waktu yang lalu kedatangan seorang tamu, salah seorang ulama dan politikus kawakan dari negeri Yaman. Nama beliau Syaikh Abdul Majeed Al Zindani. Salah satu kisah beliau yang menginspirasi adalah sebuah kebiasaan yang selalu beliau lakukan. Setiap hari Kamis, beliau tidak mengajar, berhenti dari aktivitas yang begitu banyaknya, berhenti mengisi ceramah-ceramah seperti yang sudah-sudah. Ba’da Shubuh hingga Dhuhur beliau mengisi waktu dengan membaca menambah kekayaan ilmu. Usai itu, selepas Dhuhur beliau berangkat ke kampung-kampung di pelosok negeri Yaman. Sendiri saja, dengan perbekalan mengajar yang telah disediakan sebelumnya, beliau berdakwah door to door dari rumah ke rumah. Menyapa orang-orang di dalamnya, menjelaskan Islam, menjawab pertanyaan-pertanyaan, dan sebagainya. Beliau betul-betul memposisikan dirinya sebagai pelayan umat. Melayani umat dengan usaha yang terbaik, menyediakan sendiri sarana dan peralatan untuk berdakwah. [1]

Jadi… dari semua yang sudah saya tulis, ada 2 hal yang ingin terus saya ingat. Pertama, amalan unggulan apa yang ingin saya tunjukkan pada Allah kelak? Berapa banyak rahasia yang hanya diketahui oleh Allah dan diri saya sendiri? Disebut unggulan karena resiko dan tantangan lebih banyak (baik secara resiko/ tantangan yang nampak, maupun yang tidak tampak). Seperti halnya Allah istimewakan orang-orang yang berperang sebelum penaklukan Makkah. “Tidak sama diantara kamu orang yang menginfakkan (hartanya di jalan Allah) di antara kamu dan berperang sebelum penaklukan Makah. Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menginfakkan (hartanya) dan berperang setelah itu. Dan Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah Maha Teliti apa yang kamu kerjakan. ” (QS. Al Hadid: 10). Sebelum penaklukan Mekah, keadaan sangat susah dan rintangan bagi orang beriman sangat berat. Yang beriman saat itu hanya orang yang jujur dan ikhlas, sedangkan setelah penaklukan, kekuatan Islam sudah muncul, orang-orang pun ramai memeluk Islam.[2]

Kedua, teruslah menumbuhkan mentalitas melayani. Jangan merasa sudah cukup dalam memberi.  Sebagaimana perkataan Ustadz Sholihun pada penghujung tausiyah beliau, “Seorang dai seharusnya tidak minta untuk dilayani, tapi mereka lah yang melayani.  Agar orang mau belajar, agar lebih banyak lagi orang yang belajar tentang agama.” Jadi rasa-rasanya ‘memberi’ saja tidak cukup. ‘Memberi’ mungkin bisa diwakilkan, akan tetapi ‘melayani’? Harus diri sendiri yang melakukan.

Jadi.. mari menabung lebih banyak lagi amalan unggulan, lebih banyak lagi amalan rahasia. Mari melayani lebih banyak lagi umat, memberikan kemanfaatan yang lebih luas.

Semoga Allah meridhai semua kegiatan yang kita lakukan. Agar tidak sia-sia. Bersihkan kembali niatnya, untuk Allah saja.  Untuk Allah saja.

Wallahualam bishowab.

allah

Referensi:

[1] Disampaikan pada Kajian Rumah Al-Qur’an, hari Rabu 19 Desember 2012.

[2] Dr. Abdullah bin Muhammad bin ‘Abdurrahman bin Ishaq Alu Syaikh. 2008. Tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i.

[3] Gambar diambil dari: http://muslimdaie90.blogspot.com/2012/09/hidup-untuk-allah.html