Memantaskan

Percayalah… :), jika anda pergi sendirian ke Turki, anda tidak akan pernah merasa kesepian. Yakinlah bahwa perjalanan anda tidak akan biasa-biasa saja. Wisata ke Turki berarti wisata ruhani. Banyak sekali objek wisata yang berhubungan langsung dengan agama, dan definitely, bagi diri saya sendiri, ini sangat men-charger ruhiyah saya.

“U’ll change your mind about Islam after seeing the place”, kata salah seorang Bapak-bapak yang saat itu membantu saya menunjukkan arah jalan ke Hagia Sophia.

“Wow.. why is that so?” tanya saya.

“Just see the place..” ujarnya sambil tersenyum.

Tak lama kemudian, sejurus mata memandang, terlihatlah sebuah bangunan gagah yang disebut sebagai Hagia Sophia.

hagia sophia tampak dari atas

hagia sohhia tampak dari atas

Baru satu saja obyek wisata yang saya kunjungi, tapi kesannya.. luar biasa! Subhanalloh.. betapa peradaban umat muslim pada masa kekhalifahan Turki Usmani silam, sangat luar biasa. Arsitekturnya, baju, pakaian, peralatan perang seperti pedang, baju besi, semuanya menakjubkan. Ini jaman dulu lho sodara2.. dan mereka bisa membuat sesuatu yang sangat berkelas bahkan bagi orang2 masa sekarang, sama sekali tidak terkesan kuno, atau ketinggalan jaman. Mulai dari baju besi yang ada hiasan permata, pedang yang di tiap sudutnya berukir kaligrafi yang cantiiikkk sekali, perkakas makan yang berhias macam2, pakaian para Sultan yang tebalnya minta ampun (gede dan mewah sekali), dan lainnya (sayang untuk barang2 ini tidak boleh difoto). Ini beberapa foto tentang arsitektur bangunan di sana.

Perjalan ke Turki, menelurkan sebuah hikmah bagi saya. Bahwa sebagai seorang muslim, kita harus berani memantaskan diri. Memantaskan diri untuk menjadi yang terbaik. Untuk terus berubah menjadi lebih baik.

Hagia Sophia misalnya, dulunya adalah gereja Kristen Ortodoks milik Konstantinopel, sebelum ia jatuh di taklukan Turki Usmani. Pada masa kekhalifahan Turki Usmani (Mehmed II), gereja ini kemudian diubah menjadi masjid. Dan kini, setelah pemerintahan Turki Usmani berakhir dan berganti ke Negara Turki yang modern, hagia sophia berubah fungsi menjadi museum. Simbol2 agama Kristen yang sebelumnya diplester oleh Turki Usmani (karena dialihfungsikan menjadi masjid) perlahan dibuka. Jadilah bangunan itu separuh bernuansa Islam, dan separuh lainnya bernuansa Kristen. Dari bangunan ini saja bisa terlihat bahwa umat muslim masa itu, sangat nyeni sekali, tidak kalah keren dibanding ke-nyenian orang2 Kristen masa itu juga.

Atau di saat berjalan-jalan ke Topkapi palace, sebuah museum yang menyimpan pedang2 para Khulafaur Rasyidin serta barang2 peninggalan khalifah Turki Usmani. Barang2 milik para umat muslim ini benar2 tidak kalah  bagusnya dengan kekaisaran Romawi dan lainnya.

Tentu saja, masa peradaban Byzantium yang luar biasa megah dan besarnya, tidak bisa dilawan hanya dengan aksi yang biasa2 saja. Terlepas dari masalah berlebih-lebihan dalam beragama, saya memaklumi kalau pakaian, baju perang, perkakas makan, serta jubah para Sultan Turki Usmani masa itu sangat mewah dan elegan. Lah wong lawannya juga begitu. Inget kisah Nabi Sulaiman yang membuat istananya serupa dengan istana milik Ratu Bilqis? Mungkin kisah tersebut bisa menjadi salah satu contohnya.

Intinya, saya menganalogikan kondisi masa silam dengan masa sekarang. Betapa kalau kita lihat sekilas di negara Indonesia, tidak sedikit umat muslim yang masih berkecil hati dan belum mau memantaskan diri untuk menjadi lebih baik. Di satu sisi, Islam mengajarkan tawadhu, zuhud, dan sebagainya. Tapi terkadang sikap2 semacam itu terlanjur salah makna dan bertopengkan ucapan “Yah, kita seadanya saja.”

Pemikiran seadanya saja, atau “saya ingin menjadi diri saya sendiri”, atau “saya belum mampu..” terkadang sebenarnya hanya sebuah bentuk pemakluman diri kita atas ketidakberhasilan, atau ketakutan kita untuk menghadapi sebuah tantangan.

Belum mampu atau tidak mau membuat diri menjadi mampu terkadang menjadi rancu.

Mari kita mencontoh peradaban Islam masa lalu. Untuk menandingi kekuatan2 yang besar pada masa itu, para umat muslim masa itu pun berpikir besar. Mereka memantaskan diri mereka sendiri untuk menjadi lawan saing yang seimbang, mereka memantaskan diri mereka untuk akhirnya menjadi seorang pemenang.

Dan kalau melihat kondisi masa kini maka kita harus berani memantaskan diri. Terlepas dari sudah mampu atau belum mampunya kita. Terus saja belajar.

Jika lawan kita adalah para ilmuwan sekuler yang terlihat sangat brilian dan keren dengan hasil penelitian dan teknologinya, maka pantaskan diri kita untuk menjadi lawan tanding yang sesuai. Pantaskan juga diri kita untuk menjadi seorang ilmuwan yang sama levelnya, atau bahkan lebih baik.

Jadi inget kata2 salah seorang pengajar di RQ:

“Kalau ini rumah Al-Qur’an, maka buatlah rumah ini layak untuk disebut sebagai rumahnya Al-Qur’an, jaga kebersihan, kesucian, keindahannya. Kalau ingin menjadi hafidzah, maka bersikaplah layaknya seorang hafidzah, dekat dengan Al-Qur’an, bersikap santun, dst.”

Akhirnya, tulisan saya diatas membawa diri saya sendiri pada sebuah kesimpulan:

“Kalau punya cita-cita ingin masuk surga, pantaskan diri kita untuk bersikap selayaknya seorang ahli surga, bukan ahli neraka.”

Wallahualam 🙂

NB: Karena upload foto aslinya lama, saya gugling sendiri foto2 diatas, ini dia source nya urut dari atas ke bawah 🙂 :

http://www.hagiasophia.com/

http://en.wikipedia.org/wiki/File:Hagia_Sophia_09.JPG

http://mosaicartsource.wordpress.com/2007/01/19/curving-swirling-hagia-sophia-dome/

http://www.world-city-photos.org/Istanbul/photos/Hagia_Sophia/Hagia_Sophia_Byzantine_architecture/

7 thoughts on “Memantaskan

  1. Mba, berapa hari disana bagusnya, sy rencana 4 hari ni, kurang ga ya? Aku solo traveler ni, kmrn nginep di hotel apa? Mumpung blm booking nih 🙂 insy 2 minggu lg kesana…trims

Leave a reply to Nurmione Cancel reply